Melaka memang identik dengan bangunan tua bersejarah. Di masa lalu kota pelabuhan itu menjadi persinggahan favorit kapal pedagang dari seluruh negeri. Posisinya yang strategis membuat bangsa lain ingin menguasainya secara kolonialisme ataupun imperialisme.
Duh kak, pembahasannya berat banget sih. Kaya guru sejarah.
Baiklah kita berpaling sejenak dari kisah masa lalu yang bagi beberapa orang terdengar begitu membosankan.
Dari Clock Tower berjalanlah ke utara, melawan arus kendaraan menuju persimpangan Padang Nyiru. Perempatan yang nantinya akan membawamu ke China Town, dimensi lain kota Melaka.

Taman kecil dekat persimpangan itu tak terlalu istimewa. Pohonnya tidak terlalu rindang dan air mancur di kolam tidak muncrat ke atas. Namun beberapa orang selalu berhenti sejenak terperangkap takjub oleh ratusan merpati.
Unggas ini tak pernah terusik akan hadirnya manusia dan laju kendaraan. Deru suara mesin mobil yang tiba-tiba menggema ketika lampu merah berubah hijau, hanya ditanggapi dengan kepakan ringan di udara. Setelah semua dirasa aman , mereka kembali lagi.

Merpati-merpati tidak hanya setia dengan pasangannya. Mereka setia tak beranjak dari Persimpangan Padang Nyiru. Menanti hati mulia para turis menaburkan jagung , untuk dipatuk sebagai kudapan siang.
“Ssstttt kamu jinak-jinak merpati deh!”
“Aku?” kibas rambut…
“Iya kamu…”
“Aku sih, jinak-jinak jomblo. Kalau ada yang mau langsung nemplok!”
Maaf buat yang jomblo agar berbesar hati menyaksikan pemandangan romantis hingga super vulgar. Sepasang merpati itu saling goda mengepak-mengapakan sayap, hingga akhirnya ada yang terjebak dalam kenikmatan tabu. “Tit….” *sensor*
Yup, tabu untuk dipertontonkan di depan umum tapi nikmat untuk dilakukan berdua, bertiga , berempat dan mungkin beramai-ramai. Hiii…

Meski terlahir berpasangan, bukan berarti merpati tak mungkin sendiri. Ada perpisahan atas nama kematian.
Kesetiaan terkadang membuat merpati tak bergeming dalam kesendirian. Karena sesungguhnya meski ia yang dicintai sudah tak ada, bayangannya terasa nyata. Tuh lihat merpati ada jomblo juga kok, dan memilih tetap jomblo.



“Itu yang di sana ada yang jomblo juga. Kenapa mereka nggak bersatu.”
“Sesungguhnya menyatukan dua jomblo tak semudah membalikan telapak tangan.”
“La iyalah, jomblo merpati dengan jomblo gagak beda spesies, susah bersatu.”
“Jadi tahu kan alasannya kenapa Nikita Mirzani yang jomblo ngga ketemu dengan Nicola Saputra yang jomblo?”
“Kalau kakak yang jomblo ngga ketemu siapa-siapa, itu alasannya apa?”
*hening. nggak bisa jawab, terus nangis*


Lupakan pembahasan jomblo kembali ke burung dan simpang Padang Nyiru. Lihat ada Om-Om maenin burung.
Melempar jagung-jagung (bukan berondong) ke tanah agar merpati mendekat. Beberapa saat ia mengendap-endap lalu berteriak.”Hua…!” Sontak merprti berterbangan. Beruntung tak ada yang terkena serangan jantung.
Meski aktivitas ini tidak hewani (mirip tidak manusiawi), tapi momennya indah ditangkap dengan kamera. Sayapun betah berlama-lama mengintip dari pindai lensa kamera.

“Kak?”
“Iya.”
“Sebetulnya Kakak motoin burung apa Om-Om yang lagi maenin burung?”
“Dua-duanya.”
“Kak , aku rasa dia bermain dengan burung deh, bukan maenan burung, mainin burung atau dimainin burung.”
*diem sok lugu tapi cengar-cengir”


Apapun istilahnya, burung-burung di persimpangan Padang Nyiru memberikan warna berbeda di kota Melaka. Meski panas terik menyengat, tak ada salahnya bermain sejenak dengan burung merpati jinak.
Walau jinaknya terkadang harus dibayar dengan tiga ringgit untuk membeli sekantung jagung.

Percakapan dan kejadian di atas murni imajinasi sang penulis. Jika ada kemiripan tokoh dengan kisah di atas , itu hanya kebetulan saja. Tanpa ada maksud untuk menyindir atau menyakiti kamu yang jomblo.
Terimakasih untuk Arief, Maria dan Windi jadi teman jalan di Melaka :D .
Filed under: Malaysia, Photography, Travelling Tagged: featured, jalan laksamana, maenin burung, masjid selat melaka, melaka, merpati tidak ingkar janji, padang nyiru, persimpangan padang nyiru
