Tersengatlah hati 39 fotografer pilihan juri FPP 2016, menyaksikan rinai hujan tak kunjung berhenti di pulau Penyengat. Hati pun makin menciut teringat sederet aturan main perlombaan yang tak menguntungkan.
Semangat “hunting” langsung kendor bagai kancut tanpa tali. Bayangkan di cuaca seperti, tak diperkenankan menggunakan filter selain UV dan CPL.
Kamerapun harus di-reset ke mode default tanpa program. File yang disetor ke dewan juri tanpa editing maupun cropping. Konsep hitam putih yang menjadi andalan saat cuaca buruk haram hukumnya. Mati gaya!

Sebagian fotografer memilih kekeh menghadiri acara pembukaan di Balai adat dan menyaksikan perlombaan perahu layar dengan laut dan langit berwarna putih. Sisanya? Entahlah, mungkin masih meratapi nasib sambil menghitung air yang jatuh dari langit.
“Tuhan mengapa Kau turunkan juri yang kejam. Eh… hujan ding”, jeritan hati disertai gerimis mengundang.

Kakak lihatlah peserta lomba perahu layar di lautan sana. Mereka tak gentar dengan air yang berjatuhan dari langit.
Sekilas terlihat layar dibentangkan menantang angin, menantang bayu dan banyu. Tali layar ditarik ulur mengarahkan perahu berawak 5, 7 hingga 9 orang menuju tepian.
Mengemudikan layar yang basah oleh air memang tak mudah. Kain besar itu menyerap air sehingga lebih berah untuk dibentangkan atau ditangkupkan. Salah perhitungan satu kapal karam menghujam dasar laut.


Puas menyaksikan perahu layar berawak, saatnya melihat perahu layar tanpa juru kemudi, biasa disebut jong. Desain struktur menyerupai kapal sungguhan, hanya dimensinya lebih kecil. Lajunya sama-sama mengandalkan kekuatan angin.

Melihat lelaki dewasa bersemangat menghadang angin atau berlarian menggejar jong. Saya merasa yakin, hanya hobi yang membuat pria lupa usia. Berbeda dengan kaum hawa yang lebih mengandalkan cream anti aging agar “merasa” awet muda. *siap siap dikeplakin tante*

Lomba perahu jong berlangsung di desa Bulang , masih di pulau Penyengat. Sejenak saya bertandang hujan menghambur tanpa ampun, penonton memilih berteduh menjauhi pantai.
Para pejuang jong akhirnya menyerah menjauhi pantai, bukan karena hujan tapi angin tak berhembus sedikitpun. Ujian hari ini tak hanya untuk para fotografer tapi semua peserta lomba perahu jong dan layar.

Jika akhirnya pejuang jong kembali ke daratan, ini bukan akhir cerita. Esok masih ada laga yang harus mereka lewatkan. Biarlah rona jingga abu-abu mengantar mereka pulang untuk sejenak kembali ke peraduan.

Doa semua orang dikabulkan Sang Maha Kuasa. Hari ini tak ada air jatuh ke bumi. Meski tak sempurna langit biru membuka harapan baru bagi semua orang. Masjid Sultan terlihat elok dengan langit biru dan awan berkobar-kobar. Mari hunting Kakak!

Lomba tangkap itik menjadi pembuka yang manis bagi hari dengan cuaca yang lebih bersahabat. Semua fotografer dari setiap arah , siap membidik momen epik ini. Sebelum menangkap binatang berkaki selaput, peserta diwajibkan berenang ke tengah lautan. Jika pada akhirnya ada itik yang lari mendekati garis pantai itu rejeki nomplok.

Jika tertangkap dua itik dengan berat hati harus melepasnya salah satu. Karena peserta hanya boleh mengambil satu itik dengan kupon hadiah tergantung di lehernya.

Momen berbagi hadiah dan kasih sayang tak luput dari bidikan kamera. Maaf ya , foto di atas bukan prewed, tapi murni perlombaan tangkap itik.

Perlombaan tak kalah epik dan dramatis adalah pukul guling. Dua orang di atas kayu nibung saling pukul menggunakan guling , agar lawannya jatuh ke air. Tak hanya adu jotos guling saja yang mengundang tawa. Ekpresi wajah petarung kedinginan atau tak percaya diri menjadi hiburan tersendiri bagi penonton.


Bersamaan dengan pertandingan pukul guling, lomba perahu dayung berlangsung. Meski tak banyak pemerhati, lomba yang mengandalkan kekuatan lengan asik untuk diulik. Kamera saya sekilas menangkap tiga petarung dengan kecepatan maksimum. Eh yang keliatan masjid Dompak . :D

Andai cuaca mendukung, pulau Penyengat benar-benar mengasikan menjadi tempat hunting. Sejenak saya melongok ke angkasa tergoda beragam bentuk layang-layang. Tapi, lagi-lagi langit menjadi pias pucat pasi tertutup kabut.

Gasing bukanlah permainan tradisional milik anak-anak saja . Orang dewasa pun tak sungkan memutar kayu berporos. Dentuman gasing saling bertumbukan memunculkan sensasi tersendiri. Bergantian para pemain menghantamkan gasing, lalu membiarkan mereka beradu lambat. Gasing yang berhenti berputar dia akan tamat.

Generasi muda dan tua saling beradu di arena, memantapkan siapa yang terampil dan cekatan bukan yang terkuat. Segenap strategi diterapkan , jika pada akhirnya mereka yang berpengalaman menyecap garam kehidupan yang menang bukan masalah. Dalam pertandingan harus ada yang kalah dan menang.



Aksi lempar gasing pun bervariasi. Melentingkan sebagian sisi tubuh untuk mendapat gaya ayun terbaik.
Kameha… Meha… Sepertinya itu ujaran yang tepat yang harus dikumandangkan sebelum melempar gasing.

Bagaimana, serukan Festival Pulau Penyengat 2016. Ini baru sebagian kecil perlombaan yang dapat saya saksikan. Maklum hanya bisa menghadirinya jelang akhir pekan saja. Padahal festival berlangsung hingga hari Rabu, 24 Februari 2016.
Nah untuk kamu yang belum ke Pulau Penyengat, jangan ketinggalan untuk menyaksikan perlombaan dan malam pentas budaya.
Filed under: Kepulauan Riau, Photography Tagged: featured, festival pulau penyengat, lomba foto, lomba foto fpp 2016, pulau penyengat
