Matahari terpancung sebagian menghilang dimakan oleh Sang Batara Kala. Pelan-pelan kegelapan merayapi seluruh muka bumi. Mereka meyakini, sang surya telah dimakan oleh sang raksasa kegelapan.
Lesung ditabuh dengan alu melahirkan suara gegap gempita bertalu-talu . Sang Batara Kala ketakutan, matahari yang sudah masuk ke dalam perut, dimuntahkannya kembali. Akhirnya sang surya kembali menyinari bumi.
Legenda di atas sangat melekat diingatan bagi mereka yang merasakan gerhana matahari tahun 1983. Berkali-kali pemerintah TVRI memutar tayangan bagaimana seharusnya orang menghadapi fenomena alam yang langka ini.
Semua orang harus masuk ke dalam rumah lalu menutup jendela dan pintu rapat-rapat untuk menghindari pagebluk (wabah penyakit). Kalau perlu bersembunyi di bawah tempat tidur untuk menghindari Sang Batara Kala yang konon suka memakan anak kecil.
Belum lagi ilustrasi kepanikan wanita hamil yang akan melahirkan jelang gerhana matahari. Membuat fenomena alam ini sesuatu yang menakutkan. Saya ingat betul, waktu itu orang tua saya tak mengijinkan kami keluar rumah. Dan ironisnya, seharian hanya menonton tayangan televisi yang sesekali iklannya “ketakutan gerhana”.
Kini, 33 tahun berlalu sudah. Rasa takut berganti dengan euphoria. Kementrian pariwisata pun jeli mengemas gerhana matahari menjadi produk wisata yang mampu mendongkrak devisa negara.
Saya tidak tahu berapa banyak wisatawan asing yang sengaja datang ke Indonesia untuk menyaksikan gerhana. Namun kata istri teman saya yang kebetulan bertugas di Ternate, tiba-tiba kota itu menjadi banyak bule alias wisman. Hotel pun full book semua jelang hari bersejarah tanggal 9 Maret 2016.
Bagaimana dengan di Indonesia bagian barat. Tak kalah heboh, Palembang sebagai salah satu kota di Indonesia yang dilalui gerhana matahari total menutup jembatan Ampera yang membelah sungai Musi. Konon sih ini peristiwa pertama selama jembatan yang menjadi kebanggan warga Palembang itu dibangun.
Pulau Bangka dan Belitung tak mau ketinggalan, para pemburu gambar mentari berkumpul di pantai-pantai indah di sana. Apa yang dulu ditakuti ini diburu hingga ke ujung nusantara, termasuk Papua.
Belakangan saya baru tahu bahwa gerhana matahari parsial juga terjadi di beberapa kota Indonesia. Kabar ini membuat niat saya untuk terbang ke Palembang urung. Selain itu ada deadline pekerjaan yang harus diselesaikan minggu ini *nangis.*

Baiklah, saya akan hunting sekenanya saja di Batam kalau beruntung. Lokasinya tak jauh dari kantor dan kosan, lagi-lagi hanya sepelemparan kancut. Gedung Graha Pena milik grup Batam Pos yang lokasinya persis di samping kantor menjadi lokasi berburu gerhana.
Berbekal koneksi pertemanan dan persahabatan gank “Cafe & Karaoke” , akhirnya semalam menginap di lantai 4 Graha Pena. Berharap kalau kesiangan bisa langsung salto ke lantai sepuluh.


Jika pengeras suara Masjid Raya tak berkumandang mungkin kami terus lelap dalam mimpi. Maklum semunya tertidur jelang pukul 1 malam. bahkan Chaya mengaku baru menutup mata pukul 4 pagi.
Sekilas kami mengintip dari jendela, orang berduyun-duyun ke masjid untuk sholat gerhana. Rasanya hari ini seperti Idul Fitri, dalam takbir berkumandang orang berkumpul untuk sembahyang.

Bergegas saya dan Chaya mencari security agar pintu roof top dibuka. Waktu menunjukan pukul 7:30 pagi, sekilas saya melihat mentari sudah terpancung. Cekatan kamera merekam fenomena dengan filter film rontgen. Maklumlah saya fotografer ala-ala jadi nggak punya filter ND. Ternyata bagian gelap film rontgen Medical Check Up tahun lalu dapat digunakan sebagai filter.


Setelah sampai di lantai sepuluh fenomena alam semakin memukau. Meski bulan tak sempurna menutup jejak mentari, nuansa hikmad itu hadir. Apalagi ketika ayat suci sholat gerhana dilantunkan. Betapa kecilnya manusia dan ilmu pengetahuan yang kita punya. Dulu kita menganggap fenomena alam ini bencana dan harus ditakuti. Namun sesungguhnya agama menunjukan inilah tanda kekuasaanNya. Dan ketika diperintahkan untuk menundukan kepala sejenak dalam ritual sholat gerhana.

Alam tak selalu bersahabat, jika tiba-tiba awan mengepulkan nuansa putih menutupi pandangan, agar kita tak jumawa. Bersabarlah sebentar sekaligus menyempatkan waktu untuk bersimpuh dalam doa.
Euphoria memang tak harus dimaknai pesta pora. Selipkan rasa sukur dan doa dalam setiap kegembiraan, agar perayaanmu semakin bermakna.



Satu jam lebih saya terkagum dalam gerhana yang sederhana (baca : partial) . Satu jam saja juga melihat sisi lain kota Batam yang tak pernah dilihat sebelumnya. Jika bukan karena gerhana dan teman-teman , mungkin saya tak akan ada di sini. Berdiri di lantai sepuluh Graha Pena di antara antena gendang microweave.


Terimakasih Bang Uma dan Chaya yang udang ngajakin ke sini :D. Besok kita hunting diskon di matahari ya!
Filed under: Kepulauan Riau, Travelling Tagged: batam, featured, gerhana matahari batam, gerhana matahari kepri, gerhana matahari sebagian, gerhana matahari total, GMT2016, GMTBatam, kepri
